Kamis, 29 April 2010

Indonesia dan Tempe

Apakah anda bisa membayangkan Indonesia tanpa tempe? Saya tidak. Indonesia memang lekat sekali dengan makanan ini. Mungkin perlu dilakukan survei untuk mengukur tingkat ketergantungan kita terhadap tempe. Jangan sampai ketergantungan kita terhadap tempe dijadikan senjata oleh negara lain untuk melumpuhkan kita. Lho, kok mengerikan sekali?


Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk sekitar 235 juta. Dengan penduduk sebesar ini yang notabene doyan tempe, kebutuhan kedelai nasional tercatat mencapai 2.2 juta ton. Sedangkan produksi nasional tidak lebih dari 1.0 juta ton. Sisanya dipenuhi sepenuhnya dari impor. Apa jadinya kalau kita diembargo kedelai? Tidak ada lagi “mendhoan anget” di sore hari. Kita juga bakal mencicipi bakso tanpa kecap.


Bukan lidah kita yang salah. Bukan pula lahan pertanian kita yang salah. Buat apa kita mencari siapa yang salah? Lebih baik kita pikirkan langkah kedepan agar tidak salah.


Mari kita, generasi muda, jangan bisanya cuma meminta, tapi gerakanlah tanganmu untuk membangun bangsa. Bangsa Indonesia, bangsa yang besar. Seperti kata Bung Karno “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe...”

Dibalik Dihentikannya KA Parahyangan


Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyayangkan dihentikannya KA Parahyangan. Bukan karena merasa kehilangan, tetapi karena saya melihat ada sesuatu di balik semua ini.


Salah satu alasan terkuat penutupan layanan kereta itu adalah PT KA merugi di rute tersebut. KA Parahyangan yang tersohor selama beberapa dekade telah habis-habisan dilibas angkutan travel yang merajai Jalan Tol Jakarta-Cikampek-Bandung. KA Parahyangan pun kehilangan penumpangnya. Kereta itu hilir-mudik dengan sedikit penumpang, seolah kereta hantu. (Kompas, 22 April 2010)


Bahkan Taufik Hidayat, pengamat kereta api, mengatakan "Kenapa ada yang menolak penutupan Parahyangan? Ditutup saja kalau merugi!"


Memang benar pengoperasian kereta api tidak boleh melupakan sisi komersial. Akan tetapi, menurut saya kurang arif kiranya jika penutupan ini hanya merupakan strategi perusahaan tanpa memperhatihan kepentingan konsumen.


Jumlah penumpang yang kurang menyebabkan biaya operasional tidak tercukupi. Apabila tindakan yang dilakukan adalah menaikkan tarif, sudah tentu company image di mata masyarakat akan jatuh. Berbeda jika yang dilakukan adalah menghentikan operasi, kemudian memunculkannya lagi beberapa waktu kemudian namun dengan nama yang baru, tarif baru, dan kereta yang sama. Masyarakat yang tengah merasa kehilangan akan menyambutnya dengan positif tanpa merasakan kejanggalan.


PT Kereta Api (KA) Persero Daerah Operasi (Daop) II Bandung akan mulai mengoperasikan KA Argo Parahyangan mulai Selasa (27/4). Argo Parahyangan merupakan rangkaian kereta yang menggantikan operasional KA Parahyangan yang sudah berhenti beroperasi Senin kemarin. (Tribun Jabar, 26 April 2010)


.............?????............

Senin, 26 April 2010

Sang Penemu

Cerita ini saya dapatkan langsung dari Prof. Yohanes Surya, Ph.D. Beliau bercerita tentang seorang anak usia 6 tahun yang menemukan trik baru dalam berhitung. Berhitung biasanya menjadi masalas bagi anak-anak. Tapi tidak untuk anak ini. Bahkan ia menemukan sendiri cara berhitung yang mudah. Cara yang saya yakin tak pernah terpikirkan oleh kita, orang dewasa.


Anak kecil biasanya akan kesulitan bila ditanya “Lima ditambah berapa biar hasilnya sepuluh?” atau ditanya “Empat ditambah berapa biar hasilnya sepuluh?” Tapi si anak jenius ini punya pikiran berbeda. Mari kita lihat:

Satu ditambah Sembilan = Sepuluh

Dua Ditambah Delapan = Sepuluh

Tiga ditambah Tujuh = Sepuluh

Empat ditambah Enam = Sepuluh

Lima ditambah Lima = Sepuluh

Dia bisa menyimpulkan suatu bilangan antara satu sampai sembilan harus ditambahkan dengan bilangan yang mempunyai huruf pertama yang sama dengan huruf pertama bilangan tersebut agar hasilnya sepuluh.


Mengagumkan bukan?

Bagaimana dengan penemuan anda?

Minggu, 25 April 2010

Dongeng Perminyakan: Petroleum System

Tulisan ini saya peruntukkan bagi siapa saja yang ingin berkenalan dengan dunia perminyakan. Satu hal yang unik yang membedakan teknik perminyakan dengan teknik-teknik lain pada umumnya adalah “The system is given, not made.” Di dalam teknik perminyakan kita tidak membuat sistem baru tetapi mengelola sistem yang telah ada. Tujuan dari pengelolaan sistem ini adalah untuk bisa mengeksploitasi semaksimal mungkin dan seekonomis mungkin.

Sebelum mengelola, tentunya kita harus tau terlebih dahulu sistem seperti apakah yang akan kita kelola. Sistem ini, kita sebut petroleum system, merupakan sistem batuan di bawah permukaan bumi yang didalamnya terkumpul sejumlah hidrokarbon.

Dengan demikian, paling tidak terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar bisa terbentuk petroleum system. Syarat yang pertama adalah terdapatnya batuan source rock yang telah matang. Pada batuan inilah minyak dan gas bumi terbentuk. Syarat yang kedua adalah terdapatnya batuan yang berfungsi sebagai carrier bed. Melalui batuan inilah terjadi migrasi hidrokarbon dari source rock ke perangkap atau trap. Syarat yang ke tiga adalah terdapatnya perangkap atau trap. Agar hidrokarbon bisa terjebak di dalam trap maka trap ini berkaitan dengan geometri atau bentuk, wadah atau pori-pori batuan, dan lapisan tudung yang menghalangi hidrokarbon terus bergerak hingga permukaan.

Ketiga syarat tadi harus teridentifikasi sebelum kita memutuskan untuk mengeksploitasi minyak dan gas bumi. Ilmu mengenai petroleum system ini masih terus berkembang seiring dengan penemuan-penemuan baru di lapangan. Misalnya tentang basement reservoir yang sebelumnya tidak pernah dilirik dalam eksprolasi minyak bumi.

Sabtu, 24 April 2010

Oil and Gas doesn’t Exist in the Earth, But in Your Brain

“Benarkah minyak dan gas bumi berada di dalam batuan di bawah permukaan bumi?” Sebelum kita bisa mengatakan jawabannya adalah benar maka kita harus membuktikannya terlebih dahulu. Terkadang kita terlalu hebat mengimajinasikan sesuatu yang sebenarnya kita sendiri meragukannya. Maaf kalo ada yang terusik dengan kalimat sebelumnya. Tak perlu ditertawakan. Karena memang hanya itulah yang bisa kita lakukan.

Ini bukan masalah nominal tetapi masalah nilai. Coba bayangkan apa artinya uang satu juta rupiah kalau harga beras satu kilo gram harganya sembilan ratus ribu rupiah. Mungkin ilustrasi ini terlalu ekstrim tetapi saya rasa cukup untuk sekedar memberi gambaran. Seperti itulah kira-kira yang terjadi di dalam dunia perminyakan kita. Saya mengambil contoh kasus satu lapangan gas raksasa yang kita miliki. Natuna D-Alpha.

Natuna D-Alpha dikononkan merupakan lapangan gas raksasa dengan total cadangan 46 Tscf. Mungkin kita juga kesulitan membayangkan seberapa besar 46 Tscf itu. Cadangan sebesar ini setara dengan 27 % dari cadangan Indonesia ( 170.07 Tscf @ 2008). Sebagai gamabaran, sebuah pembangkit listrik berdaya 50 MWatt dengan mengasumsikan heating value gas 1000 Btu/scf dan efiesiensi kerja powerplant 50 % maka hanya dibutuhkan gas sekitar 8 MMscf/Day. Namun apa yang terjadi pada lapangan ini: “It is stranded.” Hal ini bisa terjadi karena alasan teknis maupun karena alasan ekonomi.

Kembali ke pertanyaan kita “Benarkah minyak dan gas bumi berada di dalam batuan di bawah permukaan bumi?” Semua tergantung kemampuan kita untuk memikirkan bagaimana cara menganbilnya tanpa kehilangan nilainya.

ANGKOT SETAN CISITU

Ini pengalaman pribadi yang saya alami beberapa waktu yang lalu. Waktu itu hari Selasa malam, sekitar pukul 23.30 WIB sepulang dari praktikum lumpur pemboran yang melelahkan. Saya yang sudah hampir tiga tahun kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung memang tidak pernah membawa kendaraan sendiri ke kampus. Kebetulan dua teman satu kelompok saya juga tidak membawa kendaraan sehingga kami bertiga memutuskan untuk pulang dengan jalan kaki bersama.

Di tengah sunyinya malam, kami menyusuri jalan yang entah kenapa saya merasa malam itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Baru beberapa meter kami keluar dari gerbang belakang, kami dikagetkan oleh ranting kayu yang jatuh tepat dihadapan kami. Ditambah lagi sebagian lampu penerangan jalan yang tidak menyala. Sungguh tidak berpihak kepada kami. Saking kagetnya sebagian dari kami ada yang melompat dan segera mempercepat langkah.

Perasaan ini semakin tak menentu, ditambah saat salah satu dari kami yang berperawakan paling jangkung melontarkan sebuah pertanyaan, “Kalian pernah denger cerita ANGKOT SETAN CISITU ga?” Pertanyaan ini bagaikan alat pemicu jantung yang paling kuat di dunia. Jalan yang kami lalui memang sama dengan rute angkot yang yang disebutkan teman saya tadi. Dengan terpaksa saya mendengarkan ceritanya. Diceritakan, pernah suatu malam seorang mahasiswi yang hendak pulang dari kampus menuju tempat kostnya di daerah Cisitu Lama. Tanpa merasa khawatir sedikitpun dia naik angkot seperti biasanya. Sepanjang perjalanan tanpa berkomunikasi dengan sopir di bagian depan, mahasiswi ini terus memikirkan kenapa lampu di dalam angkot menyala redup sekali. Akhirnya di depan Pusdiklat Geologi dia memutuskan turun karena sudah merasa tidak nyaman dan memang sudah dekat dengan tempat kostnya. Saat itulah terjadi kejadian yang mungkin takkan pernah dia luapakan. Pada saat dia menyerahkan selembar uang sepuluh-ribuan, sopir angkot tersebut tancap gas melesatkan angkotnya dengan dengan kecepatan tinggi. Mahasiswi itupun secara spontan berteriak “DASAR ANGKOT SETAN....!!!!!!”

Hehe, just joke.

Jumat, 23 April 2010

Mari Menulis

Salam untuk semua,

Hari ini saya mecoba menghiasi hidup dengan warna baru. Menulis. Ya, menulis. Saya terinspirasi dari orang-orang yang telah lebih dulu memulainya. Mungkin ini juga merupakan langkah untuk memperbaiki diri dan untuk membudayakan menulis sebagai bagian dari hidup kita.

Pernah suatu ketika teman saya mengajukan pertanyaan menggelitik kepada saya. Dia bertanya "Benarkah candi Borobudur dibangun oleh leluhur bangsa Indonesia?" Kenapa sampai ada pertanyaan seperti itu jawabannya adalah karena kita tidak merasa diwarisi kemampuan hebat pendahulu kita. Kita hanya tahu bangunan itu sudah berdiri dengan kokohnya tanpa tahu bagaimana mereka membangun. Harus mengakui inilah kelemahan kita. Tidak ada warisan tertulis. Budaya menulis bangsa kita menurut saya masih rendah. Inilah yang membuat bangsa kita selalu harus mulai dari nol dalam menghadapi masalah yang ada.

Saya berharap semoga tulisan-tulisan saya berikutnya bisa bermanfaat untuk pembaca semua dan menjadi warisan untuk generasi setelah saya. Mari Menulis.

Salam,
Suhardi